Friday, 25 July 2014

INTERNET DAN RUANG PUBLIK (KASUS: GERAKAN SATU JUTA FACEBOOKERS)

Paper Teknologi Komunikasi dan Informasi
Hyashinta Amadeus Onen Pratiwi (2013)

   Facebook merupakan jejaring sosial yang muncul pertama kali pada 4 Februari 2004 dan hanya digunakan oleh Mark Elliot Zuckerberg, sang penemu untuk berkomunikasi dengan teman-temannya di Harvard. Facebook baru  berkembang luas di seluruh dunia sejak 11 September 2006. Orang yang memiliki alamat email dapat dengan bebas bergabung di situs jejaring sosial ini. Pada tahun 2009 jumlah pengguna facebook di seluruh dunia sebanyak 325 juta. Pengguna Facebook di Indonesia saat itu berjumlah 11.759.980 dengan pertumbuhan anggota tercepat yaitu 6,84 tiap minggunya. (Yogaswara, 2009:18)
   Pada awalnya Facebook menjadi media menjalin pertemanan dan hubungan sosial lainnya. Facebook juga mengalami peningkatan  menjadi tempat untuk berbisnis. Selain itu Facebook juga terbukti efektif dalam membuat group yang memungkinkan suatu kelompok untuk membicarakan topik tertentu. Fitur grup ini melahirkan sebuah gerakan-gerkan sosial seperti “Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto” pada tahun 2009 yang didirikan oleh Usman Yasin. Gerakan ini sebagai bentuk aspirasi rakyat mendukung KPK setelah mencium gelagat polisi yang tidak beres.

“..... Sebagai anak bangsa kami mencintai KPK, untuk itu mari kita dukung Chandra dan Bibit dalam grup ini. Kita namakan Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Ayp kirim semua teman-teman kita, kejar target 1.000.000 Facebooker.” (Yogaswara, 2009:19)

   Itulah sepenggal tulisan Usman Yasim dalam grup yang sedikit banyak berpegaruh pada penahanan Bibit dan Chandra yang kemudian penangguhan penahanannya dikabulkan. Dalam waktu sembilan hari grup ini memperoleh anggota satu juta orang dengan dibantu media televisi dan media massa lain yang gencar memberitakan.
   Berdasarkan fenomena tersebut muncul pertanyaan, benarkah grup di facebook merupakan sebuah ruang publik? Apakah yang ada dibalik fenomena tersebut? Tulisan ini akan memaparkan konsep ruang publik Habermas kaitannya dengan gerakan sejuta facebookers lewat grup facebook.
PEMBAHASAN
   Phillip Hallam-Baker dalam tulisannya yang berjudul “A Pre-History of Web Politics” mengatakan bahwa “The Web was from the start a political project. The Web was not invented to change the world, but it was intended to change the way the world works. The idea that everyone has the right to be a publisher is built deep into the fabric of the Web.” (http://www.w3.org/2007/06/eGov-dc/papers/WebPreHistory diakses 8 Desember 2013 pukul 12.30)

   Web adalah sebuah proyek politik dimana gagasan orang untuk dapat menjadi penerbit tertanam jauh. Pandangan ini sama dengan McQuail yang mengatakan bahwa media berhubungan dengan struktur politik dan kekuatan ekonomi. Media telah menjadi objek kompetisi untuk memperoleh  kontrol dan akses. Media massa juga menjadi instrumen yang efektif dengan kapasitas potensialnya untuk mempengaruhi dalam berbagai cara untuk memperoleh kekuasaan. Mc Quail juga menuliskan bahwa kekuatan media tidak merata pada semua kelompok kepentingan. Efek media media massa menurutnya yaitu menarik perhatian publik, mempersuasi opini atau kepercayaan publik, mempengaruhi perilaku, menyediakan definisi realitas, melekatkan status dan legitimasi dan memberikan informasi dengan cepat dan luas. (McQuail, 2009:87)
   Kekuatan media ini juga terdapat dalam  internet termasuk web. Internet hadir di tengah media tradisional yang telah terlebih dahulu ada seperti televisi, surat kabar, dan radio. Internet memberikan sebuah kemudahan untuk mendapatkan informasi dan menjalin relasi tanpa terbatas ruang dan waktu. Internet bahkan tidak hanya sekedar inovasi teknologi tetapi sudah menjadi media kekuatan politik. Seperti apa yang ditulis oleh McLuhan (dalam Loon, 2008) “Medium is the Message” yang merujuk pada kekuatan dan pengaruh medium terhadap masyarakat. Demikian pula dengan Facebook yang menjelma menjadi partai politik virtual dengan anggota politik yang tidak sedikit. Data Kementrian Komunikasi dan Informatika menyebutkan bahwa pada tahun 2012 pengguna Facebook di Indonesia mencapai 43,06 juta. (http://www.antaranews.com/berita/317451/pengguna-facebook-di-indonesia-tertinggi-ketiga-dunia diakses 6 Desember 2013 pukul 15.30)
   Norris (2001:97) merumuskan Teori Demokrasi Digital dalam sebuah “Sistem Politik Virtual” yang menjelaskan bagaimana peran warga negara (citizen) melalui kelompok kepentingan dan gerakan sosial baru, media massa, dan partai politik berhubungan dengan elemen trias politika yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Internet mampu menghubungkan warga negara dan  pejabat pemerintahan. Gerakan dukungan terhadap Hamzah dan Bibit merupakan gerakan masyarakat pertama sipil pertama di Indonesia yang memanfaatkan Facebook sebagai jejaring sosial.
   Sebuah ruang publik yang baik dipandang sebagai wujud demokrasi modern karena menyediakan forum untuk bertukar pandangan dan merumuskan pendapat. Media baru seperti internet memberikan kesempatan baru untuk ruang virtual dimana orang dapat membahas secara bebas tentang isu yang berbeda. Media baru ini termasuk Facebook telah berpengaruh dalam dunia politik. Menurut sebagian ahli media, hal ini dapat membantu memecahkan masalah defisit demokrasi. Namun sebagian lagi berpendapat sebaliknya.
   Apakah grup di facebook dapat dikatakan sebagai ruang publik? Juergen Habermas  dalam bukunya mengatakan bahwa ruang publik merupakan media untuk mengkomunikasikan informasi dan juga pandangan diantara fakta dan norma yang ada (facts and norms). Ruang publik politis sendiri adalah ruang publik yang menjembatani kepentingan publik dan negara dimana publik mengorganisasi dirinya sebagai pemilik opini publik berdasarkan prinsip demokrasi (Habermas, 1998:102).
   Public sphere attau ruang publik pada dasarnya merupakan suatu kondisi bertemu dan berinteraksinya publik dengan negara, berlangsung dalam ruang fisik (public space) dan ruang non fisik atau sistem kepublikan (public system). Terbangun atas orang per orang yang secara bersama disebut publik yang mengartikulasikan kepentingan, kebutuhan masyarakat bersama melalui negara. Idealnya, ruang publik diciptakan untuk memberi kesempatan pada publik untuk turut serta dalam debat publik yang bersifat rasional. Ruang publik diharapkan dapat menjadi zona bebas dan netral yang di dalamnya berlangsung dinamika kehidupan warga secara personal, yang terbebas dari kekuasaan negara, pasar dan kolektivisme (komunalisme).
   Menurut Habermas, munculnya ruang publik pada abad ke 18 di Eropa, dikarenakan munculnya pula kaum borjuis kapitalis (pedagang yang bukan keturunan bangsawan) yang  dengan menggunakan kekayaan dan pendidikan yg mereka miliki berusaha untuk melepaskan ketergantungan mereka terhadap gereja dan negara saat itu. Di Inggris, awalnya para kaum borjuis tersebut berkumpul di kedai-kedai kopi membicarakan seni, sastra, dan budaya, lalu pembicaraan tersebut berkembang menuju pada hal-hal yang bersifat ekonomi, politik, dan sebagainya.  Sama halnya dengan yang terjadi di Inggris, para kaum borjuis di Prancis juga melakukan hal yang sama di salon-salon tempat mereka berkumpul. Dalam perkembangannya muncul wacana reformasi parlemen, pers atau surat kabar yang independen, walaupun hal ini ditentang oleh pemerintah pada saat itu.
   Dalam ruang publik tersebut diskusi dan debat berlangsung. Ruang publik menjadi tempat pembentukan ide, pengetahuan, dan konstruksi pendapat yang bersifat kolektif dan dipakai bersama. Ruang publik disini menggunakan ruang berbagi yang “intersubjectively shared space of a specch situation in concrete locales where an audience is physically gathered” (Habermas, 1998:361). Berdasarkan definisi ini dapat disimpulkan bahwa ruang publik dalam  pandangan Habermas adalah jangkar dalam sebuah relasi fisik secara konkret dalam kehidupan sehingga tercipta sebuah diskusi atau debat.
   Berbeda dengan grup di facebook dimana mereka hanya sekedar mengomentari atau hanya meng-klik like bukan di tempat yang konkret. Dialog dan argumentasi antar anggota atau peserta menjadi hal yang krusial ntuk menghasilakn sebuah diskusi dan itu tidak terjadi di grup facebook. Grup facebook tidak memungkinkan diskusi ataupun debat sehingga belum cukup kuat untuk dikatakan sebagai ruang publik. Grup di facebook merupakan cyber space tetapi bukan public sphere. Kita tidak dapat memindahkan konsep public sphere Habernas dan menyamakannya dengan konteks public sphere di zamannya. Memang melalui grup facebook mereka dapat memberikan pendapat secara personal, tetapi di dalamnya tidak ada diskusi untuk mencapai tujuan tertentu.
   Penting untuk tidak hanya melihat dari segi perkembangan teknologi tetapi juga ekonomi politik yang berkembang. Hal ini untuk melihat siapa yang menggunakan teknologi apa untuk mempromosikan sesuatu baik secara sadar maupun tidak sadar. Philip Elliott mempunyai thesis bahwa apa yang kita lihat, apa yang kita hadapi adalah sebuah keberlanjutan yang melibatkan masyarakat sosial sebagai political citizens dalam suatu negara sebagai unit konsumsi dari sebuah korporasi dunia. Konsekuensi dari hal ini yaitu terjadinya erosi apa yang Habermas katakan sebagi public sphere tadi (Collins, 1986:106).
   Banyak orang berpikir bahwa facebook, terutama grup facebook berbasis gerakan dapat menjadi salah satu cara untuk mempertajam nilai demokrasi di Indonesia. Gerakan sejuta facebookers dapat menjembatani antara kepentingan publik dan negara dengan prinsip demokrasi sesuai dengan definisi ruang publik habermas. Tetapi perlu dicermati benarkah demokrasi tercermin di dalamnya? Ataukah itu sekedar demokrasi semu?
   Satu prinsip penting dalam demokrasi adalah “satu orang satu suara”. Namun, jika demokrasi semakin banyak dipraktikkan secara online, orang-orang yang kurang memiliki teknologi dan keterampilan yang diperlukan akan terabaikan suaranya. Inilai celah teknologi (technology gap). Perbedaan yang semakin jauh antara orang-orang yang memiliki teknlogi dan orang-orang yang tidak memilikinya.  Kaum mayoritas dalam teknologi memiliki kuasa dan pengaruh yang lebih besar di bandingkan kaum minortias dalam bidang teknologi. "Demokratrisasi" dalam internet ini tetap masih berpihak pada orang-orang yang memiliki uang untuk membeli perangkat keras dan lunak yang diperlukan untuk mengakses Internet dan juga untuk membayar koneksi Internetnya.
   Demokrasi yang pada dasarnya melayani masyarakat berubah menjadi sebuah kontestasi di atas panggung. Inilah komodifikasi demokrasi yang terjadi melalui jejaring sosial facebook. Sebut saja Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Kopassus (6259 anggota) dengan 24.785 likes dan grup I Love Polri (3224 anggota) dengan 44.134 likes  terkait kasus penyerangan Lapas Cebongan tempo hari. Facebook menjadi ajang kontestasi untuk mendapat dukungan sebanyak mungkin. Internet telah menjadi objek kompetisi untuk memperoleh  kontrol dan akses. Tujuannya jelas untuk mendapat simpati publik dan membentuk opini publik seperti yang dikatakan oleh McQuail. Efeknya masyarakat bisa jadi berpikir bahwa ketika melihat jumlah anggota grup pendukung Kopassus ia akan beranggapan bahwa masyarakat secara umum memang lebih memihak Kopassus atau sebaliknya. Inilah dampak dari demokrasi semu melalui facebook.
   Dalam gerakan sejuta facebookers, seseorang dapat memberikan dukungan terhadap sebuah gerakan dengan cara bergabung dalam grup tersebut atau memberikan like. Ini berarti kasus grup Facebook Gerakan mendukung Hamzah dan Bibit adalah sebuah aktivitas meng-klik click-activism). Hal ini berarti aktivitas grup  facebook tersebut adalah click-activism dimana aktivitas hanya terjadi secara online (seperti “liking”, “comment” dalam facebook).  (Nugroho, 2012:98) Aktivitas online ini menyuarakan sesuatu yang ada di dunia nyata, misalkan kasus Hamzah dan Bibit Waluyo serta kasus Cebongan. Namun tidak berarti gerakan di dunia maya akan mempengaruhi dunia nyata. Artinya facebook tidak menjadi satu-satunya alasan keberhasilan suatu gerakan melalui grup facebook.
   Yang penting dalam civil society activism bukanlah alat seperti internet atau facebook, tetapi bagaimana media itu digunakan untuk memajukan mereka. Terlalu sering menggunakan internet dan media sosial lebih bersifat kurang strategik. Artinya, penggunaan teknologi ini didorong oleh reaksi yang impulsif ketimbang oleh rencana dan strategi yang disengaja. Kasus gerakan satu juta facebookers menggarisbawahi pentingnya strategi penggunaan media baru. Hanya fokus pada aspek teknis pada internet dan sosial media sebagai gerakan sosial adalah naif. Keberhasilan gerakan satu juta facebookers disebabkan oleh keterlibatan manusia, tetapi lebih jauh lagi karena perkembangan teknologi. Artinya, gerakan melalui facebook akan sia-sia tanpa adanya kontribusi untuk membangun hubungan terhadap teknologi lain (televisi dan surat kabar untuk memberitakan grup tersebut), politik (agar aparat pemeritnahan tahu), dan keterlibatan (masyarakat luas mengetahui adanya dukungan ini). (Nugroho, 2012:97)
   
DAFTAR PUSTAKA

Collins, Richard, James Curran, Nicholas Garnham, Paddy Scannell, Philip Schlesinger & Colin Sparks. 1986. Media, Culture and Society: A Critical Reader. London: Sage Publications.

Habermas, Jurgen. 1998. The Structural Transformation of the Public Sphere. Cambridge, Mass: MIT Press.

Loon, Joost van. 2008. Media Technology, Critical Perspectives. England: Open University Press.

McQuail, Denis. 2009. McQuail's Mass Communication Theory. 6th Edition. SAGE Publications.

Norris, Pippa. 2001. Digital Divide: Civic Engagement, Information Poverty, and the Internet Worldwide. Cambridge University Press

Nugroho, Yanuar dan Sofie Shinta S. 2012. Beyond Click-Activism? New Media and Political Processes in Contemporary Indonesia. http://library.fes.de/pdf-files/bueros/asia-media/09240.pdf diakses 9 Desember 2013 pukul 20.45.

Yogaswara. 2010. The Power of Facebook: Gerakan 1.000.000 Facebookers. Yogyakarta: Mediakom.

http://www.antaranews.com/berita/317451/pengguna-facebook-di-indonesia-tertinggi ketiga-dunia diakses 6 Desember 2013 pukul 15.30

http://www.w3.org/2007/06/eGov-dc/papers/WebPreHistory diakses 8 Desember 2013 pukul 12.30.

No comments:

Post a Comment