Friday, 25 July 2014

INTERNET DAN RUANG PUBLIK (KASUS: GERAKAN SATU JUTA FACEBOOKERS)

Paper Teknologi Komunikasi dan Informasi
Hyashinta Amadeus Onen Pratiwi (2013)

   Facebook merupakan jejaring sosial yang muncul pertama kali pada 4 Februari 2004 dan hanya digunakan oleh Mark Elliot Zuckerberg, sang penemu untuk berkomunikasi dengan teman-temannya di Harvard. Facebook baru  berkembang luas di seluruh dunia sejak 11 September 2006. Orang yang memiliki alamat email dapat dengan bebas bergabung di situs jejaring sosial ini. Pada tahun 2009 jumlah pengguna facebook di seluruh dunia sebanyak 325 juta. Pengguna Facebook di Indonesia saat itu berjumlah 11.759.980 dengan pertumbuhan anggota tercepat yaitu 6,84 tiap minggunya. (Yogaswara, 2009:18)
   Pada awalnya Facebook menjadi media menjalin pertemanan dan hubungan sosial lainnya. Facebook juga mengalami peningkatan  menjadi tempat untuk berbisnis. Selain itu Facebook juga terbukti efektif dalam membuat group yang memungkinkan suatu kelompok untuk membicarakan topik tertentu. Fitur grup ini melahirkan sebuah gerakan-gerkan sosial seperti “Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto” pada tahun 2009 yang didirikan oleh Usman Yasin. Gerakan ini sebagai bentuk aspirasi rakyat mendukung KPK setelah mencium gelagat polisi yang tidak beres.

“..... Sebagai anak bangsa kami mencintai KPK, untuk itu mari kita dukung Chandra dan Bibit dalam grup ini. Kita namakan Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Ayp kirim semua teman-teman kita, kejar target 1.000.000 Facebooker.” (Yogaswara, 2009:19)

   Itulah sepenggal tulisan Usman Yasim dalam grup yang sedikit banyak berpegaruh pada penahanan Bibit dan Chandra yang kemudian penangguhan penahanannya dikabulkan. Dalam waktu sembilan hari grup ini memperoleh anggota satu juta orang dengan dibantu media televisi dan media massa lain yang gencar memberitakan.
   Berdasarkan fenomena tersebut muncul pertanyaan, benarkah grup di facebook merupakan sebuah ruang publik? Apakah yang ada dibalik fenomena tersebut? Tulisan ini akan memaparkan konsep ruang publik Habermas kaitannya dengan gerakan sejuta facebookers lewat grup facebook.
PEMBAHASAN
   Phillip Hallam-Baker dalam tulisannya yang berjudul “A Pre-History of Web Politics” mengatakan bahwa “The Web was from the start a political project. The Web was not invented to change the world, but it was intended to change the way the world works. The idea that everyone has the right to be a publisher is built deep into the fabric of the Web.” (http://www.w3.org/2007/06/eGov-dc/papers/WebPreHistory diakses 8 Desember 2013 pukul 12.30)

   Web adalah sebuah proyek politik dimana gagasan orang untuk dapat menjadi penerbit tertanam jauh. Pandangan ini sama dengan McQuail yang mengatakan bahwa media berhubungan dengan struktur politik dan kekuatan ekonomi. Media telah menjadi objek kompetisi untuk memperoleh  kontrol dan akses. Media massa juga menjadi instrumen yang efektif dengan kapasitas potensialnya untuk mempengaruhi dalam berbagai cara untuk memperoleh kekuasaan. Mc Quail juga menuliskan bahwa kekuatan media tidak merata pada semua kelompok kepentingan. Efek media media massa menurutnya yaitu menarik perhatian publik, mempersuasi opini atau kepercayaan publik, mempengaruhi perilaku, menyediakan definisi realitas, melekatkan status dan legitimasi dan memberikan informasi dengan cepat dan luas. (McQuail, 2009:87)
   Kekuatan media ini juga terdapat dalam  internet termasuk web. Internet hadir di tengah media tradisional yang telah terlebih dahulu ada seperti televisi, surat kabar, dan radio. Internet memberikan sebuah kemudahan untuk mendapatkan informasi dan menjalin relasi tanpa terbatas ruang dan waktu. Internet bahkan tidak hanya sekedar inovasi teknologi tetapi sudah menjadi media kekuatan politik. Seperti apa yang ditulis oleh McLuhan (dalam Loon, 2008) “Medium is the Message” yang merujuk pada kekuatan dan pengaruh medium terhadap masyarakat. Demikian pula dengan Facebook yang menjelma menjadi partai politik virtual dengan anggota politik yang tidak sedikit. Data Kementrian Komunikasi dan Informatika menyebutkan bahwa pada tahun 2012 pengguna Facebook di Indonesia mencapai 43,06 juta. (http://www.antaranews.com/berita/317451/pengguna-facebook-di-indonesia-tertinggi-ketiga-dunia diakses 6 Desember 2013 pukul 15.30)
   Norris (2001:97) merumuskan Teori Demokrasi Digital dalam sebuah “Sistem Politik Virtual” yang menjelaskan bagaimana peran warga negara (citizen) melalui kelompok kepentingan dan gerakan sosial baru, media massa, dan partai politik berhubungan dengan elemen trias politika yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Internet mampu menghubungkan warga negara dan  pejabat pemerintahan. Gerakan dukungan terhadap Hamzah dan Bibit merupakan gerakan masyarakat pertama sipil pertama di Indonesia yang memanfaatkan Facebook sebagai jejaring sosial.
   Sebuah ruang publik yang baik dipandang sebagai wujud demokrasi modern karena menyediakan forum untuk bertukar pandangan dan merumuskan pendapat. Media baru seperti internet memberikan kesempatan baru untuk ruang virtual dimana orang dapat membahas secara bebas tentang isu yang berbeda. Media baru ini termasuk Facebook telah berpengaruh dalam dunia politik. Menurut sebagian ahli media, hal ini dapat membantu memecahkan masalah defisit demokrasi. Namun sebagian lagi berpendapat sebaliknya.
   Apakah grup di facebook dapat dikatakan sebagai ruang publik? Juergen Habermas  dalam bukunya mengatakan bahwa ruang publik merupakan media untuk mengkomunikasikan informasi dan juga pandangan diantara fakta dan norma yang ada (facts and norms). Ruang publik politis sendiri adalah ruang publik yang menjembatani kepentingan publik dan negara dimana publik mengorganisasi dirinya sebagai pemilik opini publik berdasarkan prinsip demokrasi (Habermas, 1998:102).
   Public sphere attau ruang publik pada dasarnya merupakan suatu kondisi bertemu dan berinteraksinya publik dengan negara, berlangsung dalam ruang fisik (public space) dan ruang non fisik atau sistem kepublikan (public system). Terbangun atas orang per orang yang secara bersama disebut publik yang mengartikulasikan kepentingan, kebutuhan masyarakat bersama melalui negara. Idealnya, ruang publik diciptakan untuk memberi kesempatan pada publik untuk turut serta dalam debat publik yang bersifat rasional. Ruang publik diharapkan dapat menjadi zona bebas dan netral yang di dalamnya berlangsung dinamika kehidupan warga secara personal, yang terbebas dari kekuasaan negara, pasar dan kolektivisme (komunalisme).
   Menurut Habermas, munculnya ruang publik pada abad ke 18 di Eropa, dikarenakan munculnya pula kaum borjuis kapitalis (pedagang yang bukan keturunan bangsawan) yang  dengan menggunakan kekayaan dan pendidikan yg mereka miliki berusaha untuk melepaskan ketergantungan mereka terhadap gereja dan negara saat itu. Di Inggris, awalnya para kaum borjuis tersebut berkumpul di kedai-kedai kopi membicarakan seni, sastra, dan budaya, lalu pembicaraan tersebut berkembang menuju pada hal-hal yang bersifat ekonomi, politik, dan sebagainya.  Sama halnya dengan yang terjadi di Inggris, para kaum borjuis di Prancis juga melakukan hal yang sama di salon-salon tempat mereka berkumpul. Dalam perkembangannya muncul wacana reformasi parlemen, pers atau surat kabar yang independen, walaupun hal ini ditentang oleh pemerintah pada saat itu.
   Dalam ruang publik tersebut diskusi dan debat berlangsung. Ruang publik menjadi tempat pembentukan ide, pengetahuan, dan konstruksi pendapat yang bersifat kolektif dan dipakai bersama. Ruang publik disini menggunakan ruang berbagi yang “intersubjectively shared space of a specch situation in concrete locales where an audience is physically gathered” (Habermas, 1998:361). Berdasarkan definisi ini dapat disimpulkan bahwa ruang publik dalam  pandangan Habermas adalah jangkar dalam sebuah relasi fisik secara konkret dalam kehidupan sehingga tercipta sebuah diskusi atau debat.
   Berbeda dengan grup di facebook dimana mereka hanya sekedar mengomentari atau hanya meng-klik like bukan di tempat yang konkret. Dialog dan argumentasi antar anggota atau peserta menjadi hal yang krusial ntuk menghasilakn sebuah diskusi dan itu tidak terjadi di grup facebook. Grup facebook tidak memungkinkan diskusi ataupun debat sehingga belum cukup kuat untuk dikatakan sebagai ruang publik. Grup di facebook merupakan cyber space tetapi bukan public sphere. Kita tidak dapat memindahkan konsep public sphere Habernas dan menyamakannya dengan konteks public sphere di zamannya. Memang melalui grup facebook mereka dapat memberikan pendapat secara personal, tetapi di dalamnya tidak ada diskusi untuk mencapai tujuan tertentu.
   Penting untuk tidak hanya melihat dari segi perkembangan teknologi tetapi juga ekonomi politik yang berkembang. Hal ini untuk melihat siapa yang menggunakan teknologi apa untuk mempromosikan sesuatu baik secara sadar maupun tidak sadar. Philip Elliott mempunyai thesis bahwa apa yang kita lihat, apa yang kita hadapi adalah sebuah keberlanjutan yang melibatkan masyarakat sosial sebagai political citizens dalam suatu negara sebagai unit konsumsi dari sebuah korporasi dunia. Konsekuensi dari hal ini yaitu terjadinya erosi apa yang Habermas katakan sebagi public sphere tadi (Collins, 1986:106).
   Banyak orang berpikir bahwa facebook, terutama grup facebook berbasis gerakan dapat menjadi salah satu cara untuk mempertajam nilai demokrasi di Indonesia. Gerakan sejuta facebookers dapat menjembatani antara kepentingan publik dan negara dengan prinsip demokrasi sesuai dengan definisi ruang publik habermas. Tetapi perlu dicermati benarkah demokrasi tercermin di dalamnya? Ataukah itu sekedar demokrasi semu?
   Satu prinsip penting dalam demokrasi adalah “satu orang satu suara”. Namun, jika demokrasi semakin banyak dipraktikkan secara online, orang-orang yang kurang memiliki teknologi dan keterampilan yang diperlukan akan terabaikan suaranya. Inilai celah teknologi (technology gap). Perbedaan yang semakin jauh antara orang-orang yang memiliki teknlogi dan orang-orang yang tidak memilikinya.  Kaum mayoritas dalam teknologi memiliki kuasa dan pengaruh yang lebih besar di bandingkan kaum minortias dalam bidang teknologi. "Demokratrisasi" dalam internet ini tetap masih berpihak pada orang-orang yang memiliki uang untuk membeli perangkat keras dan lunak yang diperlukan untuk mengakses Internet dan juga untuk membayar koneksi Internetnya.
   Demokrasi yang pada dasarnya melayani masyarakat berubah menjadi sebuah kontestasi di atas panggung. Inilah komodifikasi demokrasi yang terjadi melalui jejaring sosial facebook. Sebut saja Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Kopassus (6259 anggota) dengan 24.785 likes dan grup I Love Polri (3224 anggota) dengan 44.134 likes  terkait kasus penyerangan Lapas Cebongan tempo hari. Facebook menjadi ajang kontestasi untuk mendapat dukungan sebanyak mungkin. Internet telah menjadi objek kompetisi untuk memperoleh  kontrol dan akses. Tujuannya jelas untuk mendapat simpati publik dan membentuk opini publik seperti yang dikatakan oleh McQuail. Efeknya masyarakat bisa jadi berpikir bahwa ketika melihat jumlah anggota grup pendukung Kopassus ia akan beranggapan bahwa masyarakat secara umum memang lebih memihak Kopassus atau sebaliknya. Inilah dampak dari demokrasi semu melalui facebook.
   Dalam gerakan sejuta facebookers, seseorang dapat memberikan dukungan terhadap sebuah gerakan dengan cara bergabung dalam grup tersebut atau memberikan like. Ini berarti kasus grup Facebook Gerakan mendukung Hamzah dan Bibit adalah sebuah aktivitas meng-klik click-activism). Hal ini berarti aktivitas grup  facebook tersebut adalah click-activism dimana aktivitas hanya terjadi secara online (seperti “liking”, “comment” dalam facebook).  (Nugroho, 2012:98) Aktivitas online ini menyuarakan sesuatu yang ada di dunia nyata, misalkan kasus Hamzah dan Bibit Waluyo serta kasus Cebongan. Namun tidak berarti gerakan di dunia maya akan mempengaruhi dunia nyata. Artinya facebook tidak menjadi satu-satunya alasan keberhasilan suatu gerakan melalui grup facebook.
   Yang penting dalam civil society activism bukanlah alat seperti internet atau facebook, tetapi bagaimana media itu digunakan untuk memajukan mereka. Terlalu sering menggunakan internet dan media sosial lebih bersifat kurang strategik. Artinya, penggunaan teknologi ini didorong oleh reaksi yang impulsif ketimbang oleh rencana dan strategi yang disengaja. Kasus gerakan satu juta facebookers menggarisbawahi pentingnya strategi penggunaan media baru. Hanya fokus pada aspek teknis pada internet dan sosial media sebagai gerakan sosial adalah naif. Keberhasilan gerakan satu juta facebookers disebabkan oleh keterlibatan manusia, tetapi lebih jauh lagi karena perkembangan teknologi. Artinya, gerakan melalui facebook akan sia-sia tanpa adanya kontribusi untuk membangun hubungan terhadap teknologi lain (televisi dan surat kabar untuk memberitakan grup tersebut), politik (agar aparat pemeritnahan tahu), dan keterlibatan (masyarakat luas mengetahui adanya dukungan ini). (Nugroho, 2012:97)
   
DAFTAR PUSTAKA

Collins, Richard, James Curran, Nicholas Garnham, Paddy Scannell, Philip Schlesinger & Colin Sparks. 1986. Media, Culture and Society: A Critical Reader. London: Sage Publications.

Habermas, Jurgen. 1998. The Structural Transformation of the Public Sphere. Cambridge, Mass: MIT Press.

Loon, Joost van. 2008. Media Technology, Critical Perspectives. England: Open University Press.

McQuail, Denis. 2009. McQuail's Mass Communication Theory. 6th Edition. SAGE Publications.

Norris, Pippa. 2001. Digital Divide: Civic Engagement, Information Poverty, and the Internet Worldwide. Cambridge University Press

Nugroho, Yanuar dan Sofie Shinta S. 2012. Beyond Click-Activism? New Media and Political Processes in Contemporary Indonesia. http://library.fes.de/pdf-files/bueros/asia-media/09240.pdf diakses 9 Desember 2013 pukul 20.45.

Yogaswara. 2010. The Power of Facebook: Gerakan 1.000.000 Facebookers. Yogyakarta: Mediakom.

http://www.antaranews.com/berita/317451/pengguna-facebook-di-indonesia-tertinggi ketiga-dunia diakses 6 Desember 2013 pukul 15.30

http://www.w3.org/2007/06/eGov-dc/papers/WebPreHistory diakses 8 Desember 2013 pukul 12.30.

Wednesday, 23 July 2014

Analisis Iklan Minuman Pocari Sweat Berdasarkan Frankfurt School

Pocari Sweat (ポカリスエット Pokari Suetto) merupakan salah satu minuman ringan dan minuman olahraga terpopuler di Jepang, diproduksi oleh Otsuka Pharmaceutical Co, Ltd. Minuman ini pertama kali dijual pada tahun 1980. Di luar Jepang juga dijual pada daerah Asia Timur, Asia Tenggara dan Timur Tengah.
Pocari Sweat mempunyai rasa ringan, relatif ringan, minuman manis berkarbonasi dan diiklankan sebagai “minuman pengganti ion dalam tubuh”. Memiliki rasa jeruk ringan dengan sedikit sensasi. Bahan komposisinya adalah air, gula, asam sitrat, natrium sitrat, natrium klorida, kalium klorida, kalsium laktat, magnesium karbonat dan rasa. Serta dijual dalam bentuk cairan, dapat dalam bentuk aluminium dan botol plastik namun ada juga yang dalam bentuk serbuk. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pocari_Sweat )
POCARI SWEAT adalah minuman isotonik sebagai pengganti cairan tubuh yang hilang setiap harinya. Komposisi POCARI SWEAT mirip dengan cairan tubuh dengan kandungan elektrolit yang seimbang, sehingga dapat diserap lebih cepat dan lebih baik dibandingkan air minum biasa, sehingga dapat mencegah terjadinya dehidrasi berat. Selain itu, dengan kelebihan tersebut, POCARI SWEAT dapat mengembalikan cairan tubuh secara menyeluruh sehingga membuat tubuh terasa lebih segar dan sehat.
  • Pocari Sweat dibuat berdasarkan penelitian ilmiah, sehingga komposisinya terukur dan mirip dengan cairan tubuh. Hal ini juga menyebabkan Pocari Sweat dapat diserap lebih cepat dan lebih baik daripada air biasa.

  • Karena cepat diserap tubuh, Pocari Sweat cepat menggantikan cairan tubuh yang hilang.

  • Pocari Sweat tidak mengandung pengawet, pemanis buatan, soda ataupun kafein, sehingga aman untuk dikonsumsi.

  • Minum Pocari Sweat agar cairan tubuh tetap terjaga. POCARI SWEAT minuman isotonik yang aman dan terukur. (http://www.pocarisweat.co.id)
ANALISIS
Minuman Pocari Sweat semakin gencar menyerbu pasaran dengan kelebihan-kelebihan yang berusaha ditonjolkan. Minuman sendiri sebenarnya ada karena adanya kebutuhan manusia akan cairan. Ketika manusia haus, maka ia minum. Ini adalah kebutuhan dasar manusia, namun sekarang ini banyak pilihan-pilihan jenis minuman yang dapat dikonsumsi. Misalkan, ada minuman isotonik dengan kelebihannya yaitu mengandung ion yang dapat menggantikan cairan tubuh, minuman jus dalam kemasan, bahkan air putih kemasan seperti Aqua. Adanya produk-produk ini merupakan hasil dari adanya kebutuhan dasar manusia untuk minum di saat haus.
Iklan Pocari Sweat sendiri berusaha menampilakan gambaran bahwa manusia membutuhkan ion untuk menjaga kelembaban kulit, membantu menyembuhkan metabolisme tubuh yang rusak, ion tubuh bisa hilang saat tidur, berkeringat, maupun menangis. Bila ditelusur lebih jauh, sebenarnya kebutuhan dasar kita adalah untuk minum. Sebenarnya cukup dengan air putih atau minuman isotonic yang dapat dibuat sendiri, misalkan oralit. Air kelapa juga dapat menjadi pilihan minuman isotonic yang bersifat alami. Pocari Sweat sendiri tak hayal juga sama dengan air putih karena berfungsi sebagai pengganti cairan tubuh yang hilang agar tidak dehidrasi, tetapi orang merasa keduanya mempunyai perbedaan yang signfikan.
American College of Sport Medicine menyatakan untuk mencegah dehidrasi adalah dengan meminum sekitar setengah liter air 2-3 jam sebelum berolahraga, kemudian minum kembali sekitar 250 ml sekitar 10-20 menit sebelum berolahraga, serta minum 250 ml lagi saat berolahraga. Untuk yang membutuhkan minuman isotonik, lebih baik untuk meminum oralit sebagai minuman isotonik alami. Oralit dapat dibuat dengan mencampurkan 900 ml air, ditambah gula 50 gr, garam 1,5 gram dan irisan lemon. (http://id.jabunta.com/2011/03/28/minuman-isotonik-alami/ )
Industri budaya merujuk pada prroduk dan proses mass culture (Storey, 2009:62). Perusahaan berusaha mencari celah dengan membuat produk yang bisa diterima masyarakat. Poduk Pocari Sweat menjadi culture industry ketika minuman ini diterima oleh masyarakat sebagai minuman isotonic. Hal ini membuat Pocari Sweat sebagai minuman isotonic menjadi sebuah komoditas. Komoditas muncul ketika terjadi perubahan nilai yang dimiliki oleh suatu barang. Dari semula memiliki nilai guna kemudian berubah menjadi nilai tukar. Orang yang sebenarnya bisa minum air putih biasa, air kelapa, atau oralit yang bisa dibuat sendiri, tetapi akhirnya karena iklan kita jadi merasa kita butuh minuman isotonic. Disinilah terjadi false need, dimana sesuatu yang sebenarnya tidak kita butuhkan atau hanya berupa keinginan berubah menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi. Sebuah produk mendoktrin, memanipulasi, menyebarkan kesadaran palsu yang menjadi gaya hidup (way of life). (Storey, 2009:63)
Komoditifikasi merupakan penurunan nilai budaya asli dengan membuat budaya tersebut menjadi komoditas yang dapat dijual. (Storey, 2009:64) Komoditas adalah hasil produksi yang mempunyai nilai guna, nilai tukar, dan pesaing. Pesaing-pesaing Pocari Sweat muncul dengan menawarkan minuman isotonic dengan berbagai merk seperti Mizone, Vitazone, Isotonic, dll. Commodity fetishism terjadi ketika orang merasa harus membeli minuman isotonic dengan merek Pocari Sweat diantara banyak pilihan atau pesaing yang lain. Commodity fetishism adalah pemujaan terhadap benda produksi. Orang membeli bukan didasarkan pada nilai guna tetapi berdasarkan status yang akan diperoleh ketika membeli barang tersebut. Hal ini membaut orang merasa harus membeli dengan merk atau brand tertentu.
Tidak seperti hasil kebudayaan asli yang dibuat dengan sungguh-sungguh tidak hanya didasarkan pada motif uang, produk budaya popular tidak memiliki detail khusus yang membuat mereka berbeda satu dengan yang lain. Dalam buku Cultural Theory and Popular Culture yang ditulis oleh John Storey juga disebutkan bahwa bagian lagu produk budaya populer dapat ditukar satu sama lain, tanpa memberikan perbedaan yang berarti. Andorno menyatakan bahwa apabila suatu lyrik atau lagu terbukti berhasil di masyarakat, maka lirik tersebut akan menciptakan standarisasi bagi lirik dan lagu yang lain (Storey, 2009: 64).
Iklan Pocari Sweat memberikan suatu standarisasi tersendiri, berupa pemikiran bahwa tubuh selalu kehilangan cairan yang tidak dapat digantikan oleh air biasa. Dibutuhkan cairan isotonik khusus yang dapat menggantikan cairan tersebut, sehingga kita dapat tetap melakukan segala aktivitas dengan lancar. Kesuksesan Pocari Sweat juga telah mengakibatkan timbulnya standarisasi bagi minuman isotonik lain seperti Mizone, Vitazone, Powerade Isotonik, Optima Sweat dst. Semua minuman tersebut menawarkan minuman yang mengandung cairan serupa dengan cairan tubuh sehingga dapat membangkitkan tenaga atau semangat dalam beraktifitas. Hal ini menunjukkan terjadinya homogenitas seperti disebutkan Storey (2009:62) bahwa industri budaya ditandai oleh 2 hal yakni homogenitas dan prediktabilitas.
Iklan Pocari Sweat juga terstandarisasi dalam hal isi iklan tersebut. pocari memiliki target pasar yakni anak-anak muda, olahragawan yang panda intinya minuman ini tidak hanya ditujukan bagi orang sakit. Sebab sebagian besar masyarakat masih beranggapan bahwa minuman isotonik hanya dibutuhkan oleh mereka yang sedang sakit. Oleh sebab itu iklan-iklan Pocari selalu menampilkan anak-anak muda yang sehat dan aktif. Pocari juga mengusung JKT 48 sebagai icon prodak mereka. Sebab JKT 48 kemungkinan besar dirasa cukup mampu merepresentasikan anak muda yang aktif dan sehat. Mereka ditampilkan sebagai sosok anak muda yang catik penuh semangat serta aktif. Icon-icon lain juga merepresentasikan hal yang serupa. Pesan yang disampaikanpun jelas yakni minuman tersebut ditujukan sebagai pengganti cairan tubuh yang hilang setelah beraktifitas.
Standarisasi ini berkaitan erat dengan pseudo-individualization yakni akibat dari standarisasi produk budaya popular yang mengakibatkan konsumen sejalan dengan pemberi pesan. Pseudo-individualization dalam hal ini menjaga setiap orang agar tetap dijalan yang sama dengan membuat mereka lupa bahwa mereka telah diperdengarkan apa yang kemudian diperdengarkan kepada mereka (Storey, 2009: 67). Dalam iklan Pocari orang lupa bahwa juga telah melihat banyak produl atau iklan serupa. Setiap kali mereka melihat iklan Pocari, banyak yang merasa iklan tersebut berbeda dengan iklan yang telah mereka lihat sebelumnya. Padahal Pocari memiliki banyak sekali iklan. Mereka sering mengganti iklan yang telah beredar di masyarakat dan menyesuaikannya dengan keinginan pasar atau budaya seperti apa yang tengah tenar dimasyarakat dan dapat mereka gunakan dalam iklan. 

Referensi:
Storey, John. 2009. Cultural Theory and Popular Culture. 

Baca juga disini.

Tulisan ini adalah karya saya bersama partner mata kuliah Teori Komunikasi II saya, Sesilia Narendra. 

Penerapan Teori Komunikasi Dalam Kampanye Sepeda Hijau Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Global warming adalah peningkatan temperatur global yang diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan seperti naiknya permukaan air laut, perubahan cuaca yang ekstrim, dan perubahan iklim. Salah satu penyebab global warming adalah polusi udara. Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa polusi udara pun semakin meningkat. Data BPS menunjukkan bahwa jumlah kendaraan bermotor (mobil penumpang, bus, truk, sepeda motor) pada tahun 2009 di Indonesia mencapai 67.336.644 dan pada tahun 2010 mengalami peningkatan sehingga mencapai 76.907.127. (http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=17¬ab=12 pada 5 April 2013 pukul 12.55) Peningkatan jumlah kendaraan bermotor ini tidak diimbangi dengan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan untuk mengurangi polusi udara. Bersepeda merupakan langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi polusi udara.
Salah satu universitas yang melakukan kampanye sepeda untuk mengurangi global warming adalah Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Hal ini dibuktikan dengan adanya Kampanye Gerakan Sepeda Hijau atau dikenal Green Geo Bike (GGB) oleh Fakultas Geografi UGM. Program itu dilaksanakan dalam rangka menggalakkan budaya bersepeda di kalangan civitas akademika, mahasiswa, dosen dan karyawan di lingkungan UGM. Mahasiswa UGM menjadi objek penelitian karena UGM merupakan universitas yang aktif dalam mengkampanyekan pengunaan sepeda dan secara resmi memberikan layanan peminjaman sepeda dari kampus untuk mahasiswa. Hal ini dikarenakan salah satu komitmen dari mahasiswa UGM angkatan 2011 dan 2012 adalah kesanggupan untuk tidak menggunakan kendaraan bermotor ke kampus. Universitas mendukung komitmen mahasiswanya agar kampus UGM menjadi lingkungan yang nyaman untuk proses pembelajaran.

Penerapan teori komunikasi untuk kampanye Sepeda UGM

1. Teori Disonansi Kognitif (West, 2007)
Dalam Teori Disonansi Kognitif dinyatakan bahwa disonansi kognitif merupakan perasaan ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan perilaku yang tidak konsisten. Sikap, pemikiran, dan perilaku yang tidak konsisten ini akan berakibat pada mulainya disonansi dan menimbulkan rangsangan yang tidak menyenangkan. Perasaan tidak menyenangkan ini dapat dikurangi dengan perubahan yang menghilangkan inkonsistensi. Teori ini berpendapat bahwa disonansi akan memotivasi orang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan. Oleh karena itu ketika sikap, keyakinan, dan perilaku seseorang tidak konsisten maka orang itu akan merasa disonan.
Teori Disonansi Kognitif membedakan antara situasi yang menghasilkan lebih banyak disonansi dan situasi yang menghasilkan lebih sedikit disonansi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya konsep tingkat disonansi yang merujuk pada jumlah kuantitatif disonansi yang dialami seseorang. Tingkat disonansi akan menentukan seberapa besar seseorang merasa disonan. Tingkat disonansi juga akan menentukan tindakan yang akan diambil seseorang dan kognisi yang mungkin digunakan untuk mengurangi disonansi.
Teori yang berfokus pada efek inkonsistensi yang ada di antara kognisi-kognisi ini mempunyai empat asumsi dasar, yaitu:
a. Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan perilakunya.
Manusia mempunyai sifat dasar yang mementingkan adanya stabilitas dan konsistensi. Teori ini menyatakan bahwa orang tidak akan menikmati inkonsistensi dalam pikiran dan keyakinan mereka. Sebaliknya, mereka akan mencari konsistensi.
b. Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi psikologis
Teori ini tidak berpegang pada konsistensi logis yang kaku. Sebaliknya teori ini merujuk pada fakta bahwa kognisi-kognisi harus tidak konsisten secara psikologis (dibandingkan tidak konsisten secara logis)
c. Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan tindakan-tindakan dengan dampak yang dapat diukur
Ketika orang mengalami inkonsistensi psikologis disonansi tercipta menimbulkan perasan tidak suka. Jadi orang tidak senang berada dalam keadaan disonansi, hal itu merupakan suatu keadaan yang tidak nyaman
d. Disonansi mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi disonansi
Untuk menghindari situasi yang menciptakan inkonsistensi dan berusaha mencari situasi yang mengembalikan konsistensi. Jadi, gambaran akan sifat dasar manusia yang membingkai teori ini adalah sifat dimana manusia mencari konsistensi psikologis sebagai hasil dari rangsangan yang disebabkan oleh kondisi ketidaksenangan terhadap kognisi yang tidak konsisten
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi tingkat disonansi seseorang. Pertama, tingkat kepentingan (importance), atau seberapa signifikan suatu masalah berpengaruh terhadap tingkat disonansi yang dirasakan. Kedua, jumlah disonansi dipengaruhi oleh rasio disonansi (dissonance ratio), atau jumlah kognisi disonan berbanding dengan jumlah kognisi yang konsonan. Ketiga, tingkat disonansi dipengaruhi oleh rasionalitas (rationality) yang digunakan individu untuk menjustifikasi inkonsistensi. Rasionalitas merujuk pada alasan yang dikemukakan untuk menjelaskan mengapa sebuah inkonsistensi muncul. Makin banyak alasan yang dimiliki seseorang untuk mengatasi kesenjangan yang ada, maka makin sedikit disonansi yang seseorang rasakan. 

Analisis Kampanye Sepeda Hijau UGM berdasarkan Teori Disonansi Kognitif

Kampanye merupakan salah satu bentuk persuasi yang berisi serangkaian pesan dan bertujuan untuk merubah perilaku masyarakat. Kampanye dilakukan dalam periode waktu yang relatif panjang dan bertahap serta dengan beragam metode. Ketika seseorang menerima pesan persuasi dari kampanye yang inkonsisten dengan keyakinan, sikap, dan perilakunya, maka orang itu akan merasa disonan. Dalam kampanye Sepeda Hijau yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada, terlihat beberapa kalimat kampanye belum menimbulkan inkonsistentensi atau disonansi pada mahasiswa maupun civitas yang menggunakan sepeda motor maupun mobil.
Ada tulisan di spanduk kawasan UGM yang berbunyi “Anda memasuki kampus UGM. Utamakan Keselamatan Sepeda dan pejalan Kaki."  Brosur dan leaflet juga sering dibagikan di UGM dalam mengkampanyekan sepeda hijau. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Hyashinta Amadeus Onen Pratiwi, Cornelia Claudia Doa dan Me Ta pada tahun 2012 dengan judul penelitian “Pengaruh Intensitas Terpaan Kampanye Sepeda Hijau terhadap Frekuensi Bersepeda Mahasiswa UGM”, didapatkan data bahwa intensitas mengikuti kegiatan bersepeda menunjukkan bahwa 14 orang atau 46.7 % responden tidak pernah mengikuti kegiatan bersepeda bersama dalam 6 bulan terakhir. Selanjutnya, 43.3% responden atau 13 orang menggunakan sepeda 1- 3 kali dalam 6 bulan terakhir, kemudian 3.3% responden atau 1 orang mengikuti kegiatan bersepeda sebanyak 1 kali dan 6.7% responden atau 2 orang mengikuti kegiatan bersepeda lebih dari 6 kali dalam 6 bulan terakhir.
Untuk spanduk, 14 orang atau 46.7 % responden sangat sering mambaca spanduk mengenai kegiatan bersepeda. Selanjutnya, 11orang atau 36.7% responden sering membaca spanduk mengenai kegiatan bersepeda, dan 5 orang atau 16.7% responden jarang membaca spanduk mengenai kegiatan bersepeda
Intensitas mendapatkan brosur menunjukkan bahwa 3 orang atau 10.0 % responden sangat sering mendapatkan brosur mengenai kegiatan bersepeda. Selanjutnya, 21 orang atau 70.0% responden sering mendapatkan brosur mengenai kegiatan bersepeda, dan 6 orang atau 20.0% responden jarang mendapatkan brosur mengenai kegiatan bersepeda.
Dari hasil tersebut, terlihat bahwa untuk brosur dan spanduk sudah cukup banyak, namun untuk kegiatan bersepeda masih kurang. Hal ini perlu dicermati mengingat kegiatan bersepeda bersama menjadi salah satu awal untuk mengjakak mahasiswa mencoba bersepeda di kampus. Semakin sering mahasiswa mendapat terpaan kampanye untuk bersepeda, semakin tinggi pula kemungkinan mahasiswa mengalami disonansi. Intensitas terpaan menjadi faktor yang sangat penting sehingga rangkaian kampanye tidak boleh hanya di aal tahun ajaran tetapi juga di pertengahan maupun akhir. Hal ini dilakukan agar pesan tetap membengkas di memori mahasiswa sehingga tidak cepat dilupakan begitu saja.
Perlu menjadi catatan pula dalam menulis spanduk, brosur, leaflet, maupun media lain sebaiknya diganti secara berkala. Hal ini mengingat aka nada kebosanan yang muncul jika misalkan dalam setahun tidak dicopot atau diganti. Oleh karena itu perlu kalimat-kalimat kreatif yang diganti sehingga mahasiswa tetap tertarik untuk membaca, mahami, bahkan merubah perilakunya. 

2. Social Judgement Theory (West, 2007)
Social Judgement Theory menyatakan bahwa perubahan sikap seseorang terhadap objek sosial dan isu tertentu merupakan hasil proses pertimbangan yang terjadi dalam diri orang tersebut terhadap pokok persoalan yang dihadapi. Social Judgement Theory berfokus pada proses internal dari sebuah penghakiman atau pertimbangan seseorang dalam berinteraksi sosial untuk menyampaikan pesan. Tujuannya adalah untuk menjadikan persuasi berhasil, sedangkan tujuan persuasi sendiri adalah adanya perubahan sikap. Social Judgement dapat membantu memprediksi arah perubahan sikap yang terjadi pada receiver.
Dalam Social Judgement Theory terdapat dua konsep utama. Pertama, yaitu anchor point yang merupakan referensi internal yang dimiliki seseorang di dalam dirinya. Menurut Muzafer Sherif, penggunaan anchor point akan menghasilkan tiga kebebasan, yaitu latitude of acceptance (garis lintang penerimaan), latitude of rejection (garis lintang penolakan), dan latitude of noncommitment (garis lintang ketidakterlibatan). Ketika pesan yang diterima oleh seseorang sesuai dengan anchor point yang dia miliki, maka pesan tersebut akan masuk dalam wilayah penerimaan. Sebaliknya, jika pesan yang diterima tidak sesuai dengan anchor point, maka pesan persuasi tersebut akan masuk dalam wilayah penolakan. Pesan dapat masuk dalam latitude noncommitment jika pesan tersebut tidak masuk dalam dua garis lintang yang lain. Artinya pesan tersebut bersifat netral atau diluar anchor point yang ia miliki.
Konsep yang kedua adalah ego-involvement (keterlibatan ego). Ego involvement yaitu keterlibatan seseorang dalam sebuah persoalan atau seberapa penting suatu isu bagi persuadee. Hal itu dapat terjadi karena persoalan yang dihadapi mempunyai arti tersendiri bagi receiver. Dengan kata lain semakin berarti suatu isu bagi seseorang maka semakin kecil kemungkinan orang tersebut dapat dipengaruhi. Keterlibatan ego akan menentukan bagaimana seseorang merespon pesan-pesan yang berhubungan dengan sebuah topik.

Analisis Kampanye Sepeda Hijau UGM berdasarkan Social Judgement Theory
Konsep penting dari teori justifikasi sosial ini adalah konsep ego involvement atau tingakt keterlibatan ego. Tingkat keterlibatan ego akan menentukan seberapa besar kemungkinan seseorang tertarik dengan suatu pesan. Kampanye Sepeda Hijau UGM sendiri sebenarnya telah mengingaktkan tingkat ego involvement dari mahasiswanya melalui kebijakan sepeda kampus yang mewajibkan angkatan baru yaitu angkatan 2011 dan 2012 untuk tidak menggunakan kendaraan bermotor di kampus. Kebijakan ini dijadikan komitmen saat mereka menjalani inisiasi mahasiswa baru yang berisikan kesanggupan untuk tidak menggunakan kendaraan bermotor di kampus.
Dengan kata lain ego involvement mahasiswa baru sebenarnya sudah tinggi terkait pengunaan sepeda di kampus, tetapi memang masalah sosialisasi, sarana prasarana, dan adaptasi menjadi kendala tersendiri. Jummlah sepeda yang dimiliki oleh UGM atau biasa disebut sepeda kampus juga merupakan hibah dari berbagai perusahaan seperti PT GMUM, BRI, Mandiri, dan BNI. Dapat diketahi pula lewat fakta ini bahwa dana menjadi salah satu penghambat mengignat sepeda kampus semuanya adalah hibah. Universitas belum bisa mengangarkan untuk membeli sepeda kampus secara mandiri. Kelemahan hibah yaitu adanya stiker, maupun tulisan promosi lainnya dari perusahaan yang memberikan hibah.

3. Elaboration Likelihood Model (West, 2007)
Kampanye merupakan salah satu bentuk persuasi. Oleh karena itu penelitian ini juga menggunakan konsep-konsep dalam teori persuasi. Teori Elaboration Model ini dikembangkan oleh Petty dan Cacioppo pada tahun 1986. Dalam Elaboration Likelihood Model, terdapat dua rute persuasi, yakni rute utama (central route) dan rute periperal (peripheral route). Rute pusat lebih menekankan pada argumentasi pesan. Jalur periferal lebih menekankan atribut pada pesan, seperti kredibilitas narassumber, adanya bonus atau diskon, dan lain-lain. Rute pusat lebih bersifat relatif permanen karena mempersuasi dengan argumentasi sedangkan jalur perifereal lebih bersifat temporer atau sementara karena menekankan pada daya tarik dan atribut pesan. Penggunaan jalur ini disesuaikan dengan tujuan persuasi sendiri, apakah untuk jangka panjang atau jangka pendek. Prinsip yang harus dipegang adalah bahwa tidak ada sikap atau perilaku yang tetap.
Dalam prosesnya, menurut Elaboration Likelihood Model terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang untuk mengelaborasi sebuah pesan persuasi yaitu motivasi, kemampuan, dan kesempatan. Motivasi seseorang untuk mengelaborasi sebuah pesan dipengaruhi oleh ego-involvement-nya terhadap pesan persuasi. Selain itu motivasi juga dipengaruhi oleh keberagaman argument dari persuader. Tanpa adanya motivasi, kemungkinan mengelaborasi pesan akan mengecil. Faktor kedua yaitu kemampuan, dimana persuadee mempunyai kemampuan untuk mengelaborasi pesan. Kemampuan dapat dilihat dari intelegensi persuadee maupun situasi yang mendukung saat terjadinya proses persuasi. Faktor ketiga yaitu kesempatan yang dimiliki oleh untuk menerima suatu pesan persuasi dalam hal ini kampanye. Kesempatan ini berhubungan dengan intensitas menerima pesan.
Selain itu, konsep social proof dalam Elaboration Likelihood Model turut menentukan apakah seseorang akan merubah sikap atau tidak. Dukungan dari masyarakat akan mempengaruhi keputusan seseorang dalam menentukan sikap. 

Analisis Kampanye Sepeda Hijau UGM berdasarkan Elaboration Likelihood Model
Berdasarkan Elaboration Likelihood Model , pemilihan jalur yang ingin digunakan dipilih berdasarkan tujuannya. Terlihat dalam kampanye Sepeda Hijau di Universitas Gadjah Mada ini, digunakan jalur pusat. Alasannya karena kampanye sepeda hijau ini menggunakan argumentasi yang mendukung isi pesan kampanye. Salah satunya adalah untuk mengurangi polusi udara, menciptakan kampus yang edukopolis, dan untuk mengurangi terjadinya global warming. Hal ini tentu senada dengan tujuan kampanye sepeda hijau ini yang menginginkan adanya perubahan sikap atau perilaku yang relatif tetap. Oleh karena itu terlihat bahwa sifat perusasi pesan bukan didasarkan pada daya tarik langsung misalnya agar mendapat beasiswa, tetapi dengan argumentasi yang mendukung isi pesan kampanye.
Motivasi, kemampuan, dan kesempatan turut mempengaruhi keberhasilan persuasi. Dalam hal kemampuan dan kesempatan, sebenarnya mahasiswa UGM relatif mempunyai kemampuan dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan terpaan pesan kampanye. Yang menjadi berbeda adalah seberapa besar mereka termotivasi. Motivasi ini sebenarnya terkait dengan seberapa tertarik seseorang membaca brosur, spanduk, maupun leaflet. Apakah ketika mendapat langsung dibuang, atau sempat dibaca terlebih dahulu.
Konsep yang juga penting disini adalah social proof atau dukungan sosial. Dengan kata lain banyaknya orang yang memakai sepeda di sekitar mahasiswa menjadi faktor penentu apakah mahasiswa menggunkan sepeda atau tidak. Ada pro dan kontra meman terkait kebijakan UGM yang melarang pengunaan kendaraan bermotor bagi mahasiswa angkatan 2011 dan 2012. Adanya kebijakan pengharusan memakai sepeda otomatis membuat pemakai sepeda oleh mahasiswa baru terus meningkat, dan ini bagus untuk mempengaruhi mahasiswa lain dari angaktan sebelumnya yang tidak diwajibkan agar tidak malu menggunakan sepeda. Terkadang memang alat transportasi menentukan status sosial seseorang. Hal ini mengakibatkan orang mearsa malu memakai sepeda. Dengan adanya atruan tersebut diharapkan social proof bertambah dan pemkai sepeda juga bertambah.
Sayangnya, untuk menciptakan dukungan sosial tidaklah mudah. Oleh karena itu perlu adanya evaluasi atas kampanye sepeda hijau yang sudah dilakukan sejak tahun 2006 itu dapat terus berjalan dan mengalami kemajuan yang signifikan. Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya dukungan sosial sehignga program sepeda kampus kurang ebrjalan optimal adalah karena kebijakan yang dibuat tidak dikawal dengan baik. Kebijakan akhirnya hanya bersifat himbauan saja sehingga berjalan tidak optimal karena dalam pelaksanaannya tidak dikawal.
Kebijakan yang dikeluarkan tidak disertai dengan penyiapan infrastruktur yang matang sehingga menimbulkan ketidaknyamanan pengguna sepeda kampus. Dari segi manajerial misalnya hanya terdapat 820 sepeda (2011) yang disediakan oleh kampus. Jumlah ini tidaklah sebanding dengan jumlah mahasiswa baru yang berjumlah lebih dari 10.000 orang. Waktu peminjaman sepeda juga hanya 30 menit. (http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=4687 pada 10 April 2013) Sumber Daya Manusia juga belum dipersiapkan dengan baik. Sebagai contoh masih minimnya tempat untuk memperbaiki sepeda yang rusak di kampus maupun jumlah stasiun yang terbatas untuk meminjam sepeda dan tidak tersebat secara merata. Sosialisasi juga hanya dilakukan kepada mahasiswa baru sehingga mahasiswa angkatan lama seakan-akan merasa tidak terlibat dalam kampanye ini. Pelanggaran juga masih kerap terjadi semisal peminjaman lebih dari 30 menit dan mahasiswa beralaskan tidak tahu adanya peraturan tersebut. Sosialisasi memang masih perlu digencarkan lagi, terutama mengenai prosedur peminjaman sepeda kampus.
Oleh karena itu, menentukan sasaran atau target kampanye menjadi penting. Sosialisasi menjadi faktor kunci keberhasilan komuniaksi lingkungan. Tanpa sosialisasi tidak mungkin perubahan yang signifikan. Sosialisasi dari kebijakan lingkungan berimplikasi pada semakin terbukanya proses pembentukan kebijakan yang lebih komunikatif. Dengan kata lain mediasi dengan pihak-pihak organisasi lain maupun pemerintah daerah tidak hanya bersifat reaktif tetapi aktif. Sifat itneraktif ini memberikan peluang kepada berbagai pihak untuk dapat menyuarakan kepentingannya.
Kerjasama dengan Pemerintah Daerah DIY sebenarnya sudah dilakukan oleh UGM. Salah satunya dengan pengadaaan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) yang dapat digunakan sebagai tiket untuk naik trans jogja dengan biaya rp 100.000,00 per bulan lewat program Gamacard. Lagi-lagi kerjasama ini menuai banyak kritik maupun keluhan mengingat kondisi trans jogja yang sering tidak tepat waktu, jumlahnya yang terbatas, dan masalah lainnya.
Dihawatirkan sebenarnya bahwa adanya kebijkaan ini hanyalah sarana untuk kepentingan pembuat kebijakan. Bukan tidak mungki itu terjadi untuk mencari nama baik atau popularitas. Untuk mengelak dari tuduhan tersebut, dibutuhkan bukti kongkret yang memang mendukung kebijakan penggunaan sepeda di kampus. Tidak sekedar himbauan tanpa sarana prasarana yang mendukung serta fasilitas mahasiswa yang mumpuni. Analogi yang mungkin bisa menggambarkan adalah orang membeli ayam kampung. Orang itu hanya menyiapkan kandang tanpa meikirkan sisi ayng lain seperti perawatan, makanan, dan sebagainya.
Untuk sekarang UGM memang sudah menyiapkan sarana dan prasarana, walaupun belum memadai secara keseluruhan, tetapi mahasiswa disuruh beradaptasi sendiri. Inilah kelemahan kebijakan tersebut, harusnya ada perencanaan adaptasi untuk mahasiswa. Oleh karena tiu diperlukan evaluasi secara terus-menerus agar dapat berkembang dengan optimal. Memang dari tahun ke tahun jumlah pengguna sepeda di UGM bertambah, namun belum signifikan. Memang diperlukan waktu yang tidak sebentar untuk menghasilkan sebuah perubahan.

Referensi:
West, Richard; Turner, Lynn. 2007. Introducing Communication Theory. Singapore: McGraw Hill.
http://ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=4050 pada 10 April 2013 pukul 12.02.

Baca juga disini

Kekuatan dan Kelemahan Televisi

Bak dua sisi mata uang, televisi pun mempunyai dua sisi yang dapat dirasakan yaitu kekuatan dan kelemahan. Televisi memang menjadi sebuah media yang mengena di hati masyarakat dan masih menjadi media dengan penonton terbanyak. Hampir seluruh rumah di Indonesia sekarang sudah mempunyai televisi.
Adapun kelebihan televisi adalah :bersifat audio visual. Artinya televisi dapat memadukan suara dan gambar yang bergerak sehingga dapat menarik perhatian audiens. Dalam hal ini televisi mengadopsi radio dan film. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 75% pengetahuan manusia didapat dengan menggunakan indera penglihatan atau mata, 13% dari telinga, dan sisanya menggunakan indera lain. Inilah yang membuat pengetahuan yang didapat dari televisi lebih berbekas di memori audiens.
Perkembangan teknologi juga telah menghasilkan peralatan canggih yang memungkinkan televisi dapat menayangkan gambar atau benda yang tidak dapat dilihat dengan mata tekanjang. Sebagai contoh, kamera televisi mampu menangkap gambar dalam kegelapan dengan inteosifler. Ini menjadi kelebihan dari televisi dibanding media yang lain. Selain itu televisi juga lebih menguasai jarak dan ruang serta waktu sehingga peristiwa di belahan bumi manapun dapat dilihat saat itu juga. Jangkauan televisi juga sangat luas. Hal ini berpengaruh pada sifat sugestif televisi yang sangat tinggi untuk merangsang orang melakukan sesuatu. Trend fashion, baik gaya rambut, pakaian, maupun make up merupakan mode-mode yang sering ditampilkan di televisi dan mempengaruhi gaya berbusana masyarakat. Penyiaran suatu peristiwa dengan media televisi juga sangat cepat, termasuk siaran langsung yang mampu membangkitkan emosi massa. Tak heran banyak pihak yang menggunakan televisi sebagai media kampanye.
Secanggih apapun sebuah media pasti mempunyai kekurangan sehingga antara media satu dengan media yang lainnya saling melengkapi. Orang yangsudah mempunyai televisi misalnya, masih mempunyai radio di rumahnya. Terkadang pula pada pagi harinya, dia masih membaca koran.Televisi yang sekarang menempati posisi tertinggi dihati masyarakat pun masih mempunyai kekurangan di samping kelebihannya.
Adapun kekurangan televisi terletak pada sifatnya yang transitor sehingga hanya bersifat sesaat atau sekilas. Penonton tidak dapat mengulang gambar dan suara yang diterima. Televisi juga masih menyiarkan informasi dengan satu arah sehingga penonton masih ditempatkan dalam posisi pasif. Memang ada beberapa program interaktif di televisi tetapi belum mewakili seluruh cakupan audiensnya.
Audiens sebenarnya sering tertipu dengan gambar di televisi mengenai ukuran benda yang sebenarnya karena tidak ada benda pembanding. Disinilah terjadi insize correct concept. Sebagai contoh sebuah hand phone yang ditampilkan tanpa ada benda lain disekitarnya. Orang pasti akan bertanya-tanya itu berapa ukuran sebenarnya. Oleh karena itu sering ditampilkan benda pembanding seperti meja, buku, ataupun tangan yang memegang hand phone.
Hal serupa juga terjadi dalam konteks waktu dimana waktu di televisi bukanlaah waktu yang sebenarnya. Untuk mempersingkat waktu terkadang sebuah adegan dipotong. Sebagai contoh iklan obat batuk yang menampilkan sang aktor yang langsung sembuh dalam waktu beberapa detik setelah minum obat tertentu. Inilah yang disebut sebagai intime correct concept. Pemotongan adegan ini juga terkait dengan biaya produksi televisi yang mahal. Kelemahan lain yang menjadi cirri khas tetapi juga kelemahan televisi yaitu ketergantungannya pada listrik.

 *Dapat juga dibaca disini

Toleransi Antarumat Beragama di Sleman Baik

        Saya tinggal di Jalan Solo Km. 7, Caturtunggsl, Depok, Sleman. Sebelumnya saya bersama kelompok pernah melakukan riset mengenai toleransi umat beragama di Sleman. Pengumpulan data melalui kuesioner dan wawancara ini diselenggarakan pada tanggal 22 November 2012 – 10 Desember 2012. Sebanyak 100 responden minimal berusia 17 tahun dipilih secara acak. Responden berdomisili di Kabupaten Sleman dan merupakan penduduk asli Sleman. Hasil jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh masyarakat Sleman.

       Jajak pendapat menguak tentang opini masyarakat di Kabupaten Sleman, yang merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil jajak pendapat mengungkapkan 70% responden menganggap toleransi dalam masyarakat Sleman adalah baik. Hal ini sejalan dengan keterangan Bapak Jamil (38), warga Denggung, Sleman yang menganggap toleransi masyarakat dalam hal menerima perbedaan agama cukup baik, terutama di lingkungan rumahnya. Menurutnya yang menjadi masalah bukanlah agama, melainkan status ekonomi.
Hal serupa juga dituturkan oleh Budi (57) yang mengungkapkan bahwa di Sleman masalah perbedaan agama tidak menjadi masalah. Jarang terjadi pertikaian atau pertengkaran yang disebabkan oleh perbedaan agama. Bahkan, pada pemilihan kepala daerah Sleman pada tahun 2010 juga terdapat calon yang beragama non Muslim. Hal ini mencerminkan bahwa sebenarnya masalah SARA tidak menjadi soal ketika seseorang menilai orang lain.

Toleransi Masyarakat terhadap Perbedaan Agama
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Tidak tahu
6
6.0
6.0
6.0
Buruk
24
24.0
24.0
30.0
Baik
70
70.0
70.0
100.0
Total
100
100.0
100.0

Terlihat bahwa hanya 1 dari 4 responden (24%) yang beranggapan bahwa toleransi masyarakat terhadap perbedaaan agama buruk. Sisanya yaitu 6% responden menjawab tidak tahu. Berdasarkan data ini dapat disimpulakn bahwa masyarakat sendiri menganggap toleransi masyarakat terhadap perbedaan agama sudah baik. Memang pada dasarnya di Indonesia sendiri, termasuk di Sleman perbedaan agama pasti dijumpai karena adanya beberapa agama yang berkembang di Sleman. 

Tulisan ini juga bisa dibaca di akun kompasiana: hyashintaonen

Tentang Aku

Aku lebih suka menggunakan kata aku untuk menyebut diri sendiri. Mungkin terbiasa dari kecil. Tinggal di sebuah desa yang masih cukup asri. Dengan banyak kebun dan udara segar. Berada di ketinggian 711 meter di atas permukaan air laut. Bedono, itulah nama desaku. Ada sebuah stasiun kuno yang ada di dekat rumah ku. Stasiun yang sering dikunjungi wisatawan yang naik kereta api kuno berbahan bakar kayu api dari Ambarawa-Bedono.

Anak kedua dari empat bersaudara dengan marga 'Onen'. Aku dan saudara-saudaraku mempunyai unsur nama Onen. Aku dipanggil Onen pertama kali waktu SMP, walau lebih banyak yang memanggilku Hyashinta. Nama kecilku sebenarnya Shinta, sebuah nama yang sangat pasaran. SMA-sekarang lebih banyak yang memanggilku Onen. Onen berasal dari gabungan nama orang tuaku (Pak On dan Bu Eni).

Aku lahir dari oarng tua yang luar biasa. Ketika anak lain lahir di rumah sakit, aku justru lahir di rumah. Waktu kecil aku malu kenapa aku ga sekeren teman-temanku yang lahir di rumah sakit. Sekarang aku justru bangga karena sejak menghembuskan nafas pertama di dunia ini, aku menjadi berbeda. Dengan kekuatan ibuku, aku lahir di rumah karena sebelum dukun datang aku sudah terlanjur lahir. Mungkin ini pula yang membuatku struggle sampai sekarang. Sejak lahir Tuhan memberikan jalan yang tidak biasa.

Aku belajar banyak dari masa kecilku yang berwarna. Tidak hanya dilukis dengan kenangan indah, tetapi juga dengan cerita ketika jatuh pada titik terendah. Tapi aku sadar aku sangat diberkati. Bahkan orang tuaku bilang kalau aku pembawa hoki. Memang selama ini jalanku tidak mudah, tetapi selalu ada jalan.

Sebelumnya aku pribadi pendiam dan sangat cuek. Saat SMA baru aku menjadi lebih terbuka dan mulai terlihat cerewet. Masa SMA kulewati di sebuah sekolah berasrama di kaki gunung Merapi. Romo Van Lith menjadi salah satu saksi jalan yang aku tempuh di tempat itu. Menjadi tempat curhat ketika aku merasa tidak bisa bercerita kepada temanku. Mungkin Romo Van Lith lah yang telah memilihku untuk bersekolah disana, dan lulus dari sana dengan segudang kenangan dan pelajaran. Mengajariku banyak hal tentang hidup ini.

Sekarang, aku kuliah di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Aku kuliah dengan program beasiswa. Banyak keajaiban dalam hidupku. Percaya atau tidak, aku hidup dalam mukjizat. Banyak hal ketika kurenungkan bisa terlewati walau terlihat sangat berat. Yang sangat pasti, aku ada karena Tuhan. Dia yang membuat begitu banyak mukjizat dalam hidupku.

Hmmm... perkenalan singkat yang mungkin belum menggambarkan seutuhnya tentang aku. Tapi bisalah ya sebagai pembuka :)

Blog Baru

Yah, Ini blog keduaku setelah dulu waktu SMA pernah buat tapi ga tahu buat apa. Sekedar buat wadah mencurahkan apa yang ada di pikiran dan hati yang mungkin tidak bisa diungkapkan secara langsung.

Mungkin di blog ini juga akan ada berbagai tulisanku dari berbagai bidang, walau pada dasarnya aku anak ilmu komunikasi yang ambil konsentrasi studi mayor jurnalisme dan minor kajian media. Mungkin juga akan ada curahan hati dan cerita fiktif. Yah, jangan terlalu percaya apa yang ada di blog ini.

Blog ini kubuat waktu aku lagi magang di majalah Intisari. Majalah tertua dari Kompas Gramedia. Kantornya di Jalan Panjang 8A, Kebonjeruk, Jakarta. Dibuat di tengah tugasku membuat artikel online. Yah, semoga aku dapat mengurusi blog ini agar tetap aktif. Semoga sarang laba-laba ga pernah mampir di blog ini.

Selamat berkarya :) Tuhan memberkati :)