Global warming
adalah peningkatan temperatur global yang diperkirakan akan menyebabkan
perubahan-perubahan seperti naiknya permukaan air laut, perubahan cuaca
yang ekstrim, dan perubahan iklim. Salah satu penyebab global warming
adalah polusi udara. Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dari tahun
ke tahun menunjukkan bahwa polusi udara pun semakin meningkat. Data BPS
menunjukkan bahwa jumlah kendaraan bermotor (mobil penumpang, bus, truk,
sepeda motor) pada tahun 2009 di Indonesia mencapai 67.336.644 dan pada tahun 2010 mengalami peningkatan sehingga mencapai 76.907.127. (http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=17¬ab=12 pada 5 April 2013 pukul 12.55) Peningkatan
jumlah kendaraan bermotor ini tidak diimbangi dengan penggunaan bahan
bakar ramah lingkungan untuk mengurangi polusi udara. Bersepeda
merupakan langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi polusi udara.
Salah satu universitas yang melakukan kampanye sepeda untuk mengurangi global warming adalah Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Hal ini dibuktikan dengan adanya Kampanye Gerakan Sepeda Hijau atau dikenal Green Geo Bike (GGB) oleh Fakultas Geografi UGM. Program itu dilaksanakan dalam rangka menggalakkan budaya bersepeda di kalangan civitas
akademika, mahasiswa, dosen dan karyawan di lingkungan UGM. Mahasiswa
UGM menjadi objek penelitian karena UGM merupakan universitas yang aktif
dalam mengkampanyekan pengunaan sepeda dan secara resmi memberikan
layanan peminjaman sepeda dari kampus untuk mahasiswa. Hal ini
dikarenakan salah satu komitmen dari mahasiswa UGM angkatan 2011 dan
2012 adalah kesanggupan untuk tidak menggunakan kendaraan bermotor ke
kampus. Universitas mendukung komitmen mahasiswanya agar kampus UGM
menjadi lingkungan yang nyaman untuk proses pembelajaran.
Penerapan teori komunikasi untuk kampanye Sepeda UGM
1. Teori Disonansi Kognitif (West, 2007)
Dalam
Teori Disonansi Kognitif dinyatakan bahwa disonansi kognitif merupakan
perasaan ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan
perilaku yang tidak konsisten. Sikap, pemikiran, dan perilaku yang tidak
konsisten ini akan berakibat pada mulainya disonansi dan menimbulkan
rangsangan yang tidak menyenangkan. Perasaan tidak menyenangkan ini
dapat dikurangi dengan perubahan yang menghilangkan inkonsistensi. Teori
ini berpendapat bahwa disonansi akan memotivasi
orang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan. Oleh
karena itu ketika sikap, keyakinan, dan perilaku seseorang tidak
konsisten maka orang itu akan merasa disonan.
Teori
Disonansi Kognitif membedakan antara situasi yang menghasilkan lebih
banyak disonansi dan situasi yang menghasilkan lebih sedikit disonansi.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya konsep tingkat disonansi yang merujuk
pada jumlah kuantitatif disonansi yang dialami seseorang. Tingkat
disonansi akan menentukan seberapa besar seseorang merasa disonan.
Tingkat disonansi juga akan menentukan tindakan yang akan diambil
seseorang dan kognisi yang mungkin digunakan untuk mengurangi disonansi.
Teori yang berfokus pada efek inkonsistensi yang ada di antara kognisi-kognisi ini mempunyai empat asumsi dasar, yaitu:
a. Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan perilakunya.
Manusia
mempunyai sifat dasar yang mementingkan adanya stabilitas dan
konsistensi. Teori ini menyatakan bahwa orang tidak akan menikmati
inkonsistensi dalam pikiran dan keyakinan mereka. Sebaliknya, mereka
akan mencari konsistensi.
b. Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi psikologis
Teori
ini tidak berpegang pada konsistensi logis yang kaku. Sebaliknya teori
ini merujuk pada fakta bahwa kognisi-kognisi harus tidak konsisten
secara psikologis (dibandingkan tidak konsisten secara logis)
c. Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan tindakan-tindakan dengan dampak yang dapat diukur
Ketika
orang mengalami inkonsistensi psikologis disonansi tercipta menimbulkan
perasan tidak suka. Jadi orang tidak senang berada dalam keadaan
disonansi, hal itu merupakan suatu keadaan yang tidak nyaman
d. Disonansi mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi disonansi
Untuk
menghindari situasi yang menciptakan inkonsistensi dan berusaha mencari
situasi yang mengembalikan konsistensi. Jadi, gambaran akan sifat dasar
manusia yang membingkai teori ini adalah sifat dimana manusia mencari
konsistensi psikologis sebagai hasil dari rangsangan yang disebabkan
oleh kondisi ketidaksenangan terhadap kognisi yang tidak konsisten
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi tingkat disonansi seseorang. Pertama, tingkat kepentingan (importance),
atau seberapa signifikan suatu masalah berpengaruh terhadap tingkat
disonansi yang dirasakan. Kedua, jumlah disonansi dipengaruhi oleh rasio
disonansi (dissonance ratio), atau jumlah kognisi disonan
berbanding dengan jumlah kognisi yang konsonan. Ketiga, tingkat
disonansi dipengaruhi oleh rasionalitas (rationality) yang
digunakan individu untuk menjustifikasi inkonsistensi. Rasionalitas
merujuk pada alasan yang dikemukakan untuk menjelaskan mengapa sebuah
inkonsistensi muncul. Makin banyak alasan yang dimiliki seseorang untuk
mengatasi kesenjangan yang ada, maka makin sedikit disonansi yang
seseorang rasakan.
Analisis Kampanye Sepeda Hijau UGM berdasarkan Teori Disonansi Kognitif
Kampanye
merupakan salah satu bentuk persuasi yang berisi serangkaian pesan dan
bertujuan untuk merubah perilaku masyarakat. Kampanye dilakukan dalam
periode waktu yang relatif panjang dan bertahap serta dengan beragam
metode. Ketika seseorang menerima pesan persuasi dari kampanye yang
inkonsisten dengan keyakinan, sikap, dan perilakunya, maka orang itu
akan merasa disonan. Dalam kampanye Sepeda Hijau yang dilakukan oleh
Universitas Gadjah Mada, terlihat beberapa kalimat kampanye belum
menimbulkan inkonsistentensi atau disonansi pada mahasiswa maupun
civitas yang menggunakan sepeda motor maupun mobil.
Ada tulisan di spanduk kawasan UGM yang berbunyi “Anda memasuki kampus UGM. Utamakan Keselamatan Sepeda dan
pejalan Kaki." Brosur dan leaflet juga sering
dibagikan di UGM dalam mengkampanyekan sepeda hijau. Berdasarkan survey
yang dilakukan oleh Hyashinta Amadeus
Onen Pratiwi, Cornelia Claudia Doa dan Me Ta pada tahun 2012 dengan
judul penelitian “Pengaruh Intensitas Terpaan Kampanye Sepeda Hijau
terhadap Frekuensi Bersepeda Mahasiswa UGM”, didapatkan data bahwa
intensitas mengikuti kegiatan bersepeda menunjukkan bahwa 14 orang atau 46.7 % responden
tidak pernah mengikuti kegiatan bersepeda bersama dalam 6 bulan
terakhir. Selanjutnya, 43.3% responden atau 13 orang menggunakan sepeda
1- 3 kali dalam 6 bulan
terakhir, kemudian 3.3% responden atau 1 orang mengikuti kegiatan
bersepeda sebanyak 1 kali dan 6.7% responden atau 2 orang mengikuti kegiatan bersepeda lebih dari 6 kali dalam 6 bulan terakhir.
Untuk spanduk, 14 orang atau 46.7 % responden
sangat sering mambaca spanduk mengenai kegiatan bersepeda. Selanjutnya,
11orang atau 36.7% responden sering membaca spanduk mengenai kegiatan
bersepeda, dan 5 orang atau 16.7% responden jarang membaca spanduk
mengenai kegiatan bersepeda
Intensitas mendapatkan brosur menunjukkan bahwa 3 orang atau 10.0 % responden
sangat sering mendapatkan brosur mengenai kegiatan bersepeda.
Selanjutnya, 21 orang atau 70.0% responden sering mendapatkan brosur
mengenai kegiatan bersepeda, dan 6 orang atau 20.0% responden jarang
mendapatkan brosur mengenai kegiatan bersepeda.
Dari
hasil tersebut, terlihat bahwa untuk brosur dan spanduk sudah cukup
banyak, namun untuk kegiatan bersepeda masih kurang. Hal ini perlu
dicermati mengingat kegiatan bersepeda bersama menjadi salah satu awal
untuk mengjakak mahasiswa mencoba bersepeda di kampus. Semakin sering
mahasiswa mendapat terpaan kampanye untuk bersepeda, semakin tinggi pula
kemungkinan mahasiswa mengalami disonansi. Intensitas terpaan menjadi
faktor yang sangat penting sehingga rangkaian kampanye tidak boleh hanya
di aal tahun ajaran tetapi juga di pertengahan maupun akhir. Hal ini
dilakukan agar pesan tetap membengkas di memori mahasiswa sehingga tidak
cepat dilupakan begitu saja.
Perlu
menjadi catatan pula dalam menulis spanduk, brosur, leaflet, maupun
media lain sebaiknya diganti secara berkala. Hal ini mengingat aka nada
kebosanan yang muncul jika misalkan dalam setahun tidak dicopot atau
diganti. Oleh karena itu perlu kalimat-kalimat kreatif yang diganti
sehingga mahasiswa tetap tertarik untuk membaca, mahami, bahkan merubah
perilakunya.
2. Social Judgement Theory (West, 2007)
Social Judgement Theory
menyatakan bahwa perubahan sikap seseorang terhadap objek sosial dan
isu tertentu merupakan hasil proses pertimbangan yang terjadi dalam diri
orang tersebut terhadap pokok persoalan yang dihadapi. Social Judgement Theory
berfokus pada proses internal dari sebuah penghakiman atau pertimbangan
seseorang dalam berinteraksi sosial untuk menyampaikan pesan. Tujuannya
adalah untuk menjadikan persuasi berhasil, sedangkan tujuan persuasi
sendiri adalah adanya perubahan sikap. Social Judgement dapat membantu memprediksi arah perubahan sikap yang terjadi pada receiver.
Dalam Social Judgement Theory terdapat dua konsep utama. Pertama, yaitu anchor point yang merupakan referensi internal yang dimiliki seseorang di dalam dirinya. Menurut Muzafer Sherif, penggunaan anchor point akan menghasilkan tiga kebebasan, yaitu latitude of acceptance (garis lintang penerimaan), latitude of rejection (garis lintang penolakan), dan latitude of noncommitment (garis lintang ketidakterlibatan). Ketika pesan yang diterima oleh seseorang sesuai dengan anchor point
yang dia miliki, maka pesan tersebut akan masuk dalam wilayah
penerimaan. Sebaliknya, jika pesan yang diterima tidak sesuai dengan anchor point, maka pesan persuasi tersebut akan masuk dalam wilayah penolakan. Pesan dapat masuk dalam latitude noncommitment jika pesan tersebut tidak masuk dalam dua garis lintang yang lain. Artinya pesan tersebut bersifat netral atau diluar anchor point yang ia miliki.
Konsep yang kedua adalah ego-involvement (keterlibatan ego). Ego involvement yaitu keterlibatan seseorang dalam sebuah persoalan atau seberapa penting suatu isu bagi persuadee. Hal itu dapat terjadi karena persoalan yang dihadapi mempunyai arti tersendiri bagi receiver.
Dengan kata lain semakin berarti suatu isu bagi seseorang maka semakin
kecil kemungkinan orang tersebut dapat dipengaruhi. Keterlibatan ego
akan menentukan bagaimana seseorang merespon pesan-pesan yang
berhubungan dengan sebuah topik.
Analisis Kampanye Sepeda Hijau UGM berdasarkan Social Judgement Theory
Konsep penting dari teori justifikasi sosial ini adalah konsep ego involvement
atau tingakt keterlibatan ego. Tingkat keterlibatan ego akan menentukan
seberapa besar kemungkinan seseorang tertarik dengan suatu pesan.
Kampanye Sepeda Hijau UGM sendiri sebenarnya telah mengingaktkan tingkat
ego involvement dari mahasiswanya melalui kebijakan sepeda kampus yang
mewajibkan angkatan baru yaitu angkatan 2011 dan 2012 untuk tidak
menggunakan kendaraan bermotor di kampus. Kebijakan ini dijadikan
komitmen saat mereka menjalani inisiasi mahasiswa baru yang berisikan
kesanggupan untuk tidak menggunakan kendaraan bermotor di kampus.
Dengan
kata lain ego involvement mahasiswa baru sebenarnya sudah tinggi
terkait pengunaan sepeda di kampus, tetapi memang masalah sosialisasi,
sarana prasarana, dan adaptasi menjadi kendala tersendiri. Jummlah
sepeda yang dimiliki oleh UGM atau biasa disebut sepeda kampus juga
merupakan hibah dari berbagai perusahaan seperti PT GMUM, BRI, Mandiri,
dan BNI. Dapat diketahi pula lewat fakta ini bahwa dana menjadi salah
satu penghambat mengignat sepeda kampus semuanya adalah hibah.
Universitas belum bisa mengangarkan untuk membeli sepeda kampus secara
mandiri. Kelemahan hibah yaitu adanya stiker, maupun tulisan promosi
lainnya dari perusahaan yang memberikan hibah.
3. Elaboration Likelihood Model (West, 2007)
Kampanye
merupakan salah satu bentuk persuasi. Oleh karena itu penelitian ini
juga menggunakan konsep-konsep dalam teori persuasi. Teori Elaboration Model ini dikembangkan oleh Petty dan Cacioppo pada tahun 1986. Dalam Elaboration Likelihood Model, terdapat dua rute persuasi, yakni rute utama (central route) dan rute periperal (peripheral route).
Rute pusat lebih menekankan pada argumentasi pesan. Jalur periferal
lebih menekankan atribut pada pesan, seperti kredibilitas narassumber,
adanya bonus atau diskon, dan lain-lain. Rute pusat lebih bersifat
relatif permanen karena mempersuasi dengan argumentasi sedangkan jalur
perifereal lebih bersifat temporer atau sementara karena menekankan pada
daya tarik dan atribut pesan. Penggunaan jalur ini disesuaikan dengan
tujuan persuasi sendiri, apakah untuk jangka panjang atau jangka pendek.
Prinsip yang harus dipegang adalah bahwa tidak ada sikap atau perilaku
yang tetap.
Dalam
prosesnya, menurut Elaboration Likelihood Model terdapat tiga faktor
yang mempengaruhi kemungkinan seseorang untuk mengelaborasi sebuah pesan
persuasi yaitu motivasi, kemampuan, dan kesempatan. Motivasi seseorang
untuk mengelaborasi sebuah pesan dipengaruhi oleh ego-involvement-nya
terhadap pesan persuasi. Selain itu motivasi juga dipengaruhi oleh
keberagaman argument dari persuader. Tanpa adanya motivasi, kemungkinan
mengelaborasi pesan akan mengecil. Faktor kedua yaitu kemampuan, dimana persuadee mempunyai kemampuan untuk mengelaborasi pesan. Kemampuan dapat dilihat dari intelegensi persuadee maupun situasi yang mendukung saat terjadinya proses persuasi. Faktor ketiga yaitu kesempatan yang dimiliki oleh untuk menerima suatu pesan persuasi dalam hal ini kampanye. Kesempatan ini berhubungan dengan intensitas menerima pesan.
Selain itu, konsep social proof dalam
Elaboration Likelihood Model turut menentukan apakah seseorang akan
merubah sikap atau tidak. Dukungan dari masyarakat akan mempengaruhi
keputusan seseorang dalam menentukan sikap.
Analisis Kampanye Sepeda Hijau UGM berdasarkan Elaboration Likelihood Model
Berdasarkan Elaboration Likelihood Model ,
pemilihan jalur yang ingin digunakan dipilih berdasarkan tujuannya.
Terlihat dalam kampanye Sepeda Hijau di Universitas Gadjah Mada ini,
digunakan jalur pusat. Alasannya karena kampanye sepeda hijau ini
menggunakan argumentasi yang mendukung isi pesan kampanye. Salah satunya
adalah untuk mengurangi polusi udara, menciptakan kampus yang
edukopolis, dan untuk mengurangi terjadinya global warming. Hal ini
tentu senada dengan tujuan kampanye sepeda hijau ini yang menginginkan
adanya perubahan sikap atau perilaku yang relatif tetap. Oleh karena itu
terlihat bahwa sifat perusasi pesan bukan didasarkan pada daya tarik
langsung misalnya agar mendapat beasiswa, tetapi dengan argumentasi yang
mendukung isi pesan kampanye.
Motivasi,
kemampuan, dan kesempatan turut mempengaruhi keberhasilan persuasi.
Dalam hal kemampuan dan kesempatan, sebenarnya mahasiswa UGM relatif
mempunyai kemampuan dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan terpaan
pesan kampanye. Yang menjadi berbeda adalah seberapa besar mereka
termotivasi. Motivasi ini sebenarnya terkait dengan seberapa tertarik
seseorang membaca brosur, spanduk, maupun leaflet. Apakah ketika
mendapat langsung dibuang, atau sempat dibaca terlebih dahulu.
Konsep yang juga penting disini adalah social proof atau
dukungan sosial. Dengan kata lain banyaknya orang yang memakai sepeda
di sekitar mahasiswa menjadi faktor penentu apakah mahasiswa menggunkan
sepeda atau tidak. Ada pro dan kontra meman terkait kebijakan UGM yang
melarang pengunaan kendaraan bermotor bagi mahasiswa angkatan 2011 dan
2012. Adanya kebijakan pengharusan memakai sepeda otomatis membuat
pemakai sepeda oleh mahasiswa baru terus meningkat, dan ini bagus untuk
mempengaruhi mahasiswa lain dari angaktan sebelumnya yang tidak
diwajibkan agar tidak malu menggunakan sepeda. Terkadang memang alat
transportasi menentukan status sosial seseorang. Hal ini mengakibatkan
orang mearsa malu memakai sepeda. Dengan adanya atruan tersebut
diharapkan social proof bertambah dan pemkai sepeda juga bertambah.
Sayangnya,
untuk menciptakan dukungan sosial tidaklah mudah. Oleh karena itu perlu
adanya evaluasi atas kampanye sepeda hijau yang sudah dilakukan sejak
tahun 2006 itu dapat terus berjalan dan mengalami kemajuan yang
signifikan. Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya dukungan sosial
sehignga program sepeda kampus kurang ebrjalan optimal adalah karena
kebijakan yang dibuat tidak dikawal dengan baik. Kebijakan akhirnya
hanya bersifat himbauan saja sehingga berjalan tidak optimal karena
dalam pelaksanaannya tidak dikawal.
Kebijakan
yang dikeluarkan tidak disertai dengan penyiapan infrastruktur yang
matang sehingga menimbulkan ketidaknyamanan pengguna sepeda kampus. Dari
segi manajerial misalnya hanya terdapat 820 sepeda (2011) yang
disediakan oleh kampus. Jumlah ini tidaklah sebanding dengan jumlah
mahasiswa baru yang berjumlah lebih dari 10.000 orang. Waktu peminjaman
sepeda juga hanya 30 menit. (http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=4687
pada 10 April 2013) Sumber Daya Manusia juga belum dipersiapkan dengan
baik. Sebagai contoh masih minimnya tempat untuk memperbaiki sepeda yang
rusak di kampus maupun jumlah stasiun yang terbatas untuk meminjam
sepeda dan tidak tersebat secara merata. Sosialisasi juga hanya
dilakukan kepada mahasiswa baru sehingga mahasiswa angkatan lama
seakan-akan merasa tidak terlibat dalam kampanye ini. Pelanggaran juga
masih kerap terjadi semisal peminjaman lebih dari 30 menit dan mahasiswa
beralaskan tidak tahu adanya peraturan tersebut. Sosialisasi memang
masih perlu digencarkan lagi, terutama mengenai prosedur peminjaman
sepeda kampus.
Oleh
karena itu, menentukan sasaran atau target kampanye menjadi penting.
Sosialisasi menjadi faktor kunci keberhasilan komuniaksi lingkungan.
Tanpa sosialisasi tidak mungkin perubahan yang signifikan. Sosialisasi
dari kebijakan lingkungan berimplikasi pada semakin terbukanya proses
pembentukan kebijakan yang lebih komunikatif. Dengan kata lain mediasi
dengan pihak-pihak organisasi lain maupun pemerintah daerah tidak hanya
bersifat reaktif tetapi aktif. Sifat itneraktif ini memberikan peluang
kepada berbagai pihak untuk dapat menyuarakan kepentingannya.
Kerjasama
dengan Pemerintah Daerah DIY sebenarnya sudah dilakukan oleh UGM. Salah
satunya dengan pengadaaan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) yang dapat
digunakan sebagai tiket untuk naik trans jogja dengan biaya rp
100.000,00 per bulan lewat program Gamacard. Lagi-lagi kerjasama ini
menuai banyak kritik maupun keluhan mengingat kondisi trans jogja yang
sering tidak tepat waktu, jumlahnya yang terbatas, dan masalah lainnya.
Dihawatirkan
sebenarnya bahwa adanya kebijkaan ini hanyalah sarana untuk kepentingan
pembuat kebijakan. Bukan tidak mungki itu terjadi untuk mencari nama
baik atau popularitas. Untuk mengelak dari tuduhan tersebut, dibutuhkan
bukti kongkret yang memang mendukung kebijakan penggunaan sepeda di
kampus. Tidak sekedar himbauan tanpa sarana prasarana yang mendukung
serta fasilitas mahasiswa yang mumpuni. Analogi yang mungkin bisa
menggambarkan adalah orang membeli ayam kampung. Orang itu hanya menyiapkan kandang tanpa meikirkan sisi ayng lain seperti perawatan, makanan, dan sebagainya.
Untuk
sekarang UGM memang sudah menyiapkan sarana dan prasarana, walaupun
belum memadai secara keseluruhan, tetapi mahasiswa disuruh beradaptasi
sendiri. Inilah kelemahan kebijakan tersebut, harusnya ada perencanaan
adaptasi untuk mahasiswa. Oleh karena tiu diperlukan evaluasi secara
terus-menerus agar dapat berkembang dengan optimal. Memang dari tahun ke
tahun jumlah pengguna sepeda di UGM bertambah, namun belum signifikan.
Memang diperlukan waktu yang tidak sebentar untuk menghasilkan sebuah
perubahan.
Referensi:
West, Richard; Turner, Lynn. 2007. Introducing Communication Theory. Singapore: McGraw Hill.